Cancel Culture

  


Seri Counter Culture
Ringkasan khotbah 25 September 2022
Stephanus Pradhana

What is cancel culture?
It refers to ending or at least attempting to end someone’s career or influence to hold them accountable for his or her improper behaviour.

Biasanya mulai dari soal media, a group shaming. Banyak tokoh dan figur terkenal yang menyampaikan pendapatnya akan sesuatu di sosial media (rasisme, sexisme, dan sebagainya), dan lalu di “cancel” oleh banyak pengikutnya: nama nya tidak diakui, karya-karya nya di hapus atau tidak mau digubris lagi, di keluarkan dari perusahaannya, dan sebagainya.

Why cancel someone?
Cancel culture mulai dari kefrustrasian banyak orang karena kekuasaan yang dimiliki figur-figur terkenal. Dan sosial media bisa dipakai oleh orang-orang siapa saja untuk membongkar kejahatan dan menghukum mereka. Cancel culture memberikan kuasa bagi orang-orang seperti saudara dan saya yang tidak punya kuasa apa-apa untuk menegakkan keadilan, menghukum perbuatan yang salah.

Cancel culture juga membentuk suatu komunitas moral, menegaskan sebuah nilai; bahwa ini tindakan dan perkataan yang salah, dan mana yang benar.

Apakah cancel culture good or bad? Fenomena ini memberikan suara minoritas sebuah kuasa untuk mengadili figur-figur terkenal yang tidak tersentuh oleh sistem hukum, dan menegakkan kesetaraan dalam sebuah komunitas.

Tetapi, yang terjadi adalah cancel culture menjadi sebuah bentuk bullying, sampai orang tersebut bahkan tidak diberikan kesempatan untuk membela dirinya dan orang banyak bisa menjadi hakim, bahkan lebih berkuasa dari hukum.

Pada akhirnya, komunitas yang menentukan nilai-nilai di masyarakat, dan bahkan nilai-nilai ini bisa berubah sesuai perubahan jaman. Pendapat yang tidak sesuai dengan jaman itu akan dibungkam dan minoritas akan diinjak.

Cancel culture ini akhirnya malah membuat kita sadar bahwa status kita di masyarakat sangatlah penting, dan penting nya untuk diterima. Ini sebuah tekanan yang berat, bukan hanya “peer pressure” tapi “community pressure”. Dan ini membuat kita cenderung untuk tidak berani stand out, dan ikut dalam nilai masyarakat yang ada.

Sadar tidak sadar, apa yang kita katakan (dan tidak kita katakan) dan kita lakukan (dan tidak kita lakukan) akan membentuk kita supaya di terima di masyarakat. Dan pada akhirnya orang akan takut, dan kita tidak bisa lagi menjadi diri sendiri. Ini sebuah ironi.

”How can we be true to ourselves if our existence is always threathened by cancel culture with its unclear societal expectation?”.

Bagaimana kita bisa hidup tenang tanpa takut dan frustrasi di tengah tekanan komunitas? What is the solution?

Minggu lalu kita membahas bagaimana firman Tuhan mengajarkan kita untuk menghidupi identitas baru kita di dalam Kristus. Namun dilema nya, identitas baru kita akan di cancel oleh culture dunia saat ini – dikucilkan oleh teman-teman dan dunia!

Kita tidak akan pernah bisa hidup menuruti apa yang komunitas katakan supaya kita diterima. Ini karena standar nya tidak jelas dan bisa berubah-ubah sesuai jaman!

Tidak realistis bagi kita untuk berharap kita tidak akan pernah di cancel oleh culture, dan bisa memenuhi tuntutan masyarakat; karena Yesus yang sempurna pun di cancel dari Dia hidup, sampai mati, dan bahkan sampai saat ini!

Lalu bagaimana kita bisa hidup dalam damai di tengah culture ini? Apa yang alkitab tawarkan?

Baca 1Korintus 4:3-5.

Tentu Paulus sedih karena dia mencintai jemaat, tapi bagi dia, penilaian orang tidaklah penting; dia tidak menilai dirinya sendiri (Paulus tidak membenarkan dirinya sendiri dan bukan nya tidak perduli apa kata orang) karena bagi Paulus, satu-satunya yang punya kuasa untuk menghakiminya adalah Tuhan sendiri.

Paulus bukan berarti tidak mau dikritik orang lain, tapi bahwa penilaian manusia tidak lah final, karena harus di lihat dari kaca mata firman Tuhan. Walaupun Paulus di cancel sebagian jemaat Korintus, Paulus bisa tenang karena dia tau hanya penilaian Allah lah yang paling penting.

1Korintus 4:5 merupakan sebuah penghiburan bagi Paulus, yaitu bahwa Tuhan melihat dan yang menghakimi.

Kita dihakimi berdasarkan perbuatan kita tetapi kita dibenarkan oleh karena perbuatan dan ketaatan Kristus (Lihat Roma 3:23-24, Roma 8:1).

Dan ini merupakan sebuah penghiburan dan kekuatan bagi Paulus, karena dia tahu Tuhan ada di pihaknya.

Demikian dengan kita. Kita ada di pihak Allah yang sudah membenarkan kita melalui pengorbanan Kristus, karena itu kita bisa berdiri teguh walaupun banyak orang menghakimi dan menolak kita. Karena Allah kita tidak akan pernah meng-“cancel us”, bukan karena performance kita, tetapi karena karya dari Kristus!

Lalu pertanyaannya, kenapa kita lebih mendengarkan perkataan orang yang kita tidak dekat atau kenal, daripada Allah? Ini karena kita cenderung lebih mementingkan perkataan orang banyak, daripada Allah sendiri. Sungguhkah kita mengasihi Allah? Kita harus belajar mengutamakan Kristus yang sudah di cancel dunia untuk menyelamatkan kita, dan melihat Dia lebih tinggi daripada suara-suara lain nya!

Post a comment

X